Logo
Home  »  Public Section  »  Disease  »  Artikel Inkontinensia Urin
Artikel Kesehatan
Inkontinensia Urin
HIGHLIGHTS

Beberapa orang dewasa mungkin pernah mengalami fenomena “mengompol” atau tidak dapat menahan kencing. Dalam dunia medis, hal tersebut disebut dengan inkontinensia urin. Inkontinensia urin merupakan gejala yang sering ditemui di masyarakat Indonesia. Gejala ini pada tingkat yang berat dapat menurunkan kualitas hidup penderita, gangguan kesehatan dan ekonomi. Gejala ini sering kali dilewatkan oleh penderita sehingga pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengenali tanda dan gejala perlu dilakukan sehingga skrining mandiri dapat dilakukan.

DEFINISI PENYAKIT

Apakah definisi dari inkontinensia urin? Berdasarkan International Continence Society (ICS), inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urine tanpa disadari atau tidak disengaja atau dalam istilah lainnya yaitu kebocoran urin. Inkontinensia urin merupakan bagian dari gangguan saluran kemih bagian bawah dan dapat terjadi akibat berbagai penyebab.1 Inkontinensia urin merupakan masalah yang cukup kompleks yang dapat berimbas ke ekonomi dan sosial.2 Inkontinensia urin merupakan keluhan yang prevalen ditemukan di masyarakat. Prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring dengan peningkatan usia. 3

Pada penelitian Perkumpulan Kontinensia Indonesia (PERKINA) pada tahun 2020 yang melibatkan 585 subjek yang terdiri dari 267 pria dan 318 perempuan dengan usia rata-rata 51 tahun dengan menungganakan kuesioner QUID berbahasa Indonesia, ditemukan bahwa 2,7% dari responden mengalami Stress Urinary Incontinence (SUI) dengan 2,4%-nya adalah perempuan, 5,5% mengalami Urgency Urinary Incontinence (UUI) dengan 4,4% dari 5,5% adalah perempuan, dan 3,4% Mixed Urinary Incontinence (MUI) dengan sebagian besar, yaitu 3,1% adalah perempuan.4 Menurut ICS pada tahun 2008 terdapat 250 juta perempuan menderita IU.5 Sedangkan dari data terakhir yang didapat pada tahun 2014 oleh Sumardi R et al, prevalensi perempuan menderita IU di indonesia mencapai 13,5%.1 Perempuan usia lanjut lebih cenderung mengalami IU campuran dan desakan, sedangkan perem- puan muda dan usia pertengahan umumnya mengalami IU tekanan. Pada studi tersebut ditemukan pula bahwa semakin tinggi derajat keparahan inkontinensia, maka semakin tinggi pula penurunan kualitas hidup penderita.4

Inkontinensia urin dianggap sebagai kondisi stigmatisasi di sebagian besar populasi.6 Meskipun inkontinensia urin bukan merupakan kondisi yang mengancam jiwa, ia sangat mengganggu kehidupan penderitanya. Banyak orang yang mengalami inkontinensia urin takut untuk melakukan aktivitas normal sehari-hari. Mereka menjadi tidak ingin terlalu jauh dari toilet. Hal tersebut yang menyebabkan menurunnya kualitas hidup penderita. Selain itu, inkontinensia urin juga dapat mempengaruhi hubungan interpersonal dan seksual, kesehatan psikologis, serta interaksi sosial.7

PENYEBAB PENYAKIT

Inkontinensia urin bukanlah penyakit yang berdiri sendiri sebagai suatu diagnosis. Biasanya, inkontinensia urin adalah gejala dari banyak kondisi. Penyebabnya mungkin berbeda untuk pria dan wanita. Namun, lebih sering terjadi pada wanita dan bukan merupakan sesuatu yang diturunkan.4 Serta, bukan hanya bagian normal dari proses penuaan.

Gambar 1. Inkontinensia dapat terjadi pada semua kelompok usia8

Inkontinensia urin dibagi menjadi beberapa jenis. Penyebabnya pun berbeda tergantung pada masing-masing jenisnya. Inkontinensia urin berdasarkan klinis dapat dibagi menjadi akut (transien) dan kronis (persisten).5 Pada tipe akut gejala ini dapat sembuh sendiri dan bersifat sementara tetapi pada tipe kronis biasanya telah terjadi kelainan anatomi (organ) sehingga gejala ini menetap. 5 Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi beberapa tipe (stress, urge, overflow, mixed dan continuous).5

Pada inkontinensia akut (transien), gejala yang ditimbulkan bersifat sementara dan gejala akan hilang apabila penyakit dasar telah sembuh. Beberapa hal yang dapat menyebabkan timbulnya inkontinensia akut dapat disingkat dengan mnemonic DIAPPERS.5

  • D - Delirium atau kebingungan: pada kondisi berkurangnya kesadaran baik karena pengaruh obat atau operasi
  • I - Infection: infeksi saluran kemih seperti cystitis dan urethritis dapat menyebabkan iritasi kandung kemih, sehingga timbul frekuensi, disuria dan urgensi yang menyebabkan seseorang tidak mampu mencapai toilet untuk berkemih.
  • A - Atrophic Uretritis atau Vaginitis: jaringan yang teriritasi dapat menyebabkan timbulnya urgensi
  • P – Pharmaceuticals: karena obat-obatan, seperti terapi diuretik akan meningkatkan pembebanan urin dikandung kemih.
  • P - Psychological Disorder: seperti stres, anxietas, dan depresi.
  • E - Excessive Urin Output: dapat karena intake cairan, diuretik, alkoholisme, pengaruh kafein.
  • R - Restricted Mobility: penurunan kondisi fisik lain yang mengganggu mobilitas untuk mencapai toilet.
  • S - Stool Impaction: pengaruh tekanan feses pada kondisi konstipasi akan mengubah posisi kandung kemih dan menekan saraf

Apabila penyakit dasar tersebut telah sembuh maka gejala inkontinensia juga akan perbaikan dengan sendirinya.1 Berbeda dengan inkontinensia kronis (persisten) gejala ini muncul secara terus menerus dan bersifat menetap. Penyebab dari inkontinensia kronis biasanya adanya kelaian anatomi atau organ yang menyokong mekanisme berkemih. Seperti kerusakan pada saraf pundenda akibat persalinan sehingga terjadi kelemahan otot sfingter yang menahan air seni di kandung kemih, kerusakan pada ligamen puboservikal, meningkatnya kontraksi otot detrusor (otot pada kandung kemih), menurunya sensitivitas saraf akibat penyakit diabetes mellitus, ataupun adanya tumor di ruang panggul. 1,9,10

TIPE INKONTINENSIA URIN

Gambar 2. Jenis-jenis inkontinensia urin11

  1. Inkontinensia urin tekanan/stress7

    Ditandai dengan keluarnya urin di luar kehendak yang berhubungan dengan meningkatnya tekanan abdomen yang terjadi ketika bersin, batuk, atau tekanan fisik lainnya. Pada jenis ini, otot panggul yang lemah membuat urin keluar. Ini adalah salah satu jenis inkontinensia urin yang paling umum, sering terjadi pada wanita yang lebih tua, sudah melahirkan, atau menopause. Penyebab tidak bisa menahan kencing pada jenis ini dikarenakan kandung kemih dan otot uretra mengalami tekanan ekstra secara tiba-tiba sehingga air kencing keluar tanpa disadari.

  2. Inkontinensia urin desakan/urgensi7

    Ditandai dengan keluarnya urin di luar kehendak yang diawali oleh desakan berkemih. Dorongan untuk buang air kecil akan datang tiba-tiba, tetapi penderita tidak bisa menahan kencing di saat yang sama sehingga menyebabkan mengompol. Penyebabnya dapat non-neurogenik (adanya batu, tumor, infeksi kandung kemih) atau neurogenik (berhubungan dengan kelainan saraf).

    Inkontinensia desakan merupakan salah satu gejala dalam suatu sindrom klinis yang dikenal dengan Overactive bladder (OAB). OAB ditandai dengan desakan kuat untuk berkemih (urgensi), dengan inkontinensia urin desakan (OAB basah) atau tanpa desakan (OAB kering). Biasanya disertai dengan sering berkemih di siang (frekuensi) maupun malam hari (nokturia).5

  3. Inkontinensia urin campuran/mixed 7

    Disebabkan oleh campuran dari inkontinensia tekanan/stress dan desakan/urgensi. Sehingga ditandai dengan keluarnya urin di luar kehendak yang diawali dengan desakan berkemih dan juga berkaitan dengan bersin, batuk, atau tekanan fisik lainnya.

  4. Inkontinensia urin luapan/overflow 7

    Keluarnya urin di luar kehendak yang disebabkan karena luapan urin yang berkaitan oleh sumbatan di bawah kandung kemih atau kelemahan otot detrusor kandung kemih. Inkontinensia overflow terjadi karena ketidakmampuan tubuh dalam mengosongkan kandung kemih sepenuhnya atau tidak dapat menampung urin sehingga terjadi kebocoran urin. Kondisi ini lebih sering dialami pria yang memiliki masalah prostat. Penderitanya mungkin harus sering buang air kecil atau dapat mengalami kondisi di mana urin terus menetes dari uretra.

  5. Inkontinensia urin terus-menerus/kontinua7

    Keluarnya urin di luar kehendak secara terus-menerus. Pada kasus ini, terdapat gangguan kontinuitas jaringan saluran kemih dan genitalia.

Selain itu, terdapat juga jenis inkontinensia lainnya yang tidak terkait dengan masalah urologi, yaitu inkontinensia fungsional. Inkontinensia fungsional terjadi ketika individu dengan fungsi kandung kemih dan uretra normal mengalami kesulitan untuk pergi ke toilet sebelum buang air kecil. Mereka dengan gangguan mobilitas, deficit kognitif, atau mental mungkin memiliki jenis inkontinensia ini.12

TANDA DAN GEJALA

Tanda dan gejala inkontinensia urin dapat mencakup:7,13

  • Mengompol/rembesan urin saat beraktivitas sehari-hari, dipicu dengan mengangkat beban, membungkuk, atau berolahraga.
  • Tidak dapat menahan kencing setelah merasa dorongan kuat untuk buang air kecil yang muncul tiba-tiba.
  • Urin bocor tanpa tanda-tanda atau dorongan buang air kecil.
  • Tidak dapat mencapai toilet tepat waktu.
  • Mengompol saat tidur.
  • Urin bocor selama aktivitas seksual.
  • Ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih, seperti mengedan, pancaran urin lemah, tidak lampias, dan kandung kemih terasa penuh pada inkontinensia urin luapan/overflow.

FAKTOR RISIKO

Secara umum, faktor risiko yang dapat menyebabkan inkontinensia urin adalah:14,15

  • Kelainan saluran kemih bagian bawah

    Infeksi, obstruksi, kontraktiltas kandung kemih yang berlebihan, kelemahan sfingter, hipertropi prostat.

  • Usia

    Seiring bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul dan batuk berkepanjangan. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu meningkatnya sensitivitas dari otot kandung kemih, sehingga saat kandung kemih belum terisi sampai batas yang seharusnya, dapat menimbulkan rasa ingin berkemih.

  • Riwayat penyakit gangguan saraf

    Otak (stroke, alzaimer, demensia multiinfark, parkinson, multipel sklerosis), medula spinalis (sklerosis servikal atau lumbal, trauma, multipel sklerosis), dan persarafan perifer (diabetes neuropati, trauma saraf).

  • Menopause

    Pada kondisi menopause terjadi penurunan hormon estrogen. Penurunan hormon ini dapat menyebabkan gangguan pada mekanisme berkemih sehingga dapat terjadi inkontinensia urin

  • Diabetes melitus

    Pada penderita diabetes terjadi peningkatan gula darah secara kronis, hal ini dapat menyebabkan iritasi pada saraf dan organ berkemih yang dapat menyebabkan gangguan dari mekanisme berkemih sehingga inkontinensia dapat terjadi.

  • Obesitas

    Pada penderita obesitas terjadi peningkatan tekanan dalam perut yang dapat menekan kandung kemih sehingga dorongan untuk berkemih lebih sering terjadi dibandingkan dengan yang memiliki berat badan nomal. Selain itu pada penderita obesitas rendahnya mobilisasi dapat menyebabkan lemahnya otot dasar panggul yang menyokong mekanisme penampungan air kemih di kandung kemih.

  • Riwayat operasi daerah panggul

    Pada inkontinensia akibat riwayat operasi daerah panggul dapat disebabkan oleh cidera saraf ataupun organ yang menyokong dasar panggul seperti otot dan ligamen.

Selain itu, faktor risiko inkontinensia urin lainnya pada wanita adalah:1
  • Kehamilan dan persalinan per vaginam
  • Prolaps organ panggul
  • Riwayat merokok
  • Pengobatan rutin yang sedang dikonsumsi
Sedangkan faktor risiko untuk pria adalah: 16,17
  • Gangguan fungsional dan kognitif
  • Prostatektomi
  • Arthritis
  • Inkontinensia alvi
  • Pemakaian narkotika, laksatif, dan diuretic

DIAGNOSIS

Untuk menegakkan diagnosis, dokter akan melakukan tanya jawab, pemeriksaan fisik, dan juga beberapa tes yang diperlukan. Pada tanya jawab, dokter akan menanyakan perihal gejala, riwayat medis pasien dan keluarga, serta mengidentifikasi faktor risiko. Berikut beberapa poin pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan oleh dokter pemeriksa:1,18

  • Keluhan utama saat ini: gangguan berkemih tanpa disadari, kencing darah, infeksi saluran kemih berulang,
  • Keluhan penyerta, penyakit lain yang sedang diderita.
  • Obat-obatan rutin yang sedang dikonsumsi.
  • Riwayat operasi sebelumnya: riwayat operasi daerah panggul, operasi inkontinensia urine yang gagal sebelumnya.
  • Riwayat radioterapi pada daerah panggul.
  • Singkirkan patologi lainnya (DIAPPERS: Delirium, Infection, Atrophy urethritis or vaginitis, Pharmaceuticals, Psychologic, Excess urine output, Restricted mobility, Stool Impaction)
  • Mengisi kuesioner: OABSS, OABq-SF, IPSS, QUID, ICIQ-FLUTS, ICIQ-SF, 3IQ.
  • Catatan harian berkemih manual ataupun elektronik (tersedia sebagai aplikasi di smartphone)
Pada pemeriksaan fisik, dokter akan melakukan pemeriksaan umum seperti pengukuran tekanan darah, indeks massa tubuh (IMT), status kardiopulmonologi, dan pemeriksaan daerah abdomen, panggul, genitalia, dan colok dubur. Selain itu, terdapat beberapa pemeriksaan fisik khusus yang mungkin dikerjakan, yaitu:1,19
  • Cough Stress test: dokter akan meminta pasien untuk batuk sebagai manuver sederhana untuk meningkatkan tekanan terhadap kadung kemih dan melihat adanya inkontinensia atau tidak.
  • Bonney test: merupakan bagian dari bladder stress test, yaitu pemeriksaan lanjutan setelah urin terbukti keluar saat pasien dibatukkan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan apakah inkontinensia terjadi akibat uretra (saluran kemih) yang terlalu aktif atau tidak dengan cara menyangga leher kandung kemih dengan jari.
  • Q-tip test: pemeriksaan sederhana yang dilakukan dengan memasukkan cotton swab melalui ujung uretra menuju ke leher kandung kemih.
  • Pemeriksaan status estrogen: pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada wanita yang dicurigai mengalami kekurangan hormon estrogen. Kadar hormon estrogen yang rendah diketahui menyebabkan perubahan atropik pada kandung kemih dan berhubungan dengan inkontinensia.
  • Methylene blue test: bila dicurigai terdapat fistula atau saluran abnormal pada kandung kemih.
  • Tes Pesarium (Tes Reduksi Prolaps) pada kasus prolaps organ pelvis di atas derajat 2 (untuk occult stress urinary incontinence)
  • Pad test: tes dimulai dengan meletakkan satu pad/bantalan yang telah ditimbang sebelumnya tanpa pasien berkemih, lalu pasien diminta untuk meminum 500 ml air dalam waktu < 15 menit, lalu pasien diminta untuk melakukan beberapa aktivitas seperti batuk dan berlari, dan kemudian jumlah total urin yang bocor ditentukan dengan menimbang pad setelah 1 jam.
Selanjutnya, pemeriksaan penunjang dapat meliputi:1,20–22
  • Urinalisis ± kultur urine, bila ada infeksi diobati dan dinilai kembali
  • Fungsi ginjal
  • Gula darah dan status diabetes
  • Uroflowmetri: tes yang ditujukan untuk mengukur aliran dan kekuatan aliran urine saat seseorang buang air kecil.
  • Pemeriksaan PVR: Post-void residual measurement adalah pengukuran sisa urine. Pasien akan diminta untuk buang air kecil lalu jumlah urine akan diukur. Setelah itu, dokter akan menghitung jumlah sisa urine dalam kandung kemih pasien dengan kateter atau USG. Jika banyak sisa urine yang ditemukan dalam kandung kemih, berarti ada sumbatan pada uretra atau gangguan otot maupun saraf kandung kemih.
  • Pemeriksaan radiologis, seperti USG abdomen dan transvaginal bila diperlukan
  • Urodinamik bila tindakan konservatif gagal dan diperlukan tindakan invasif: Pemeriksaan ini dapat menentukan tingkat tekanan yang bisa ditahan oleh kandung kemih dan otot sfingter saluran kemih pasien.
  • Uretrosistoskopi sesuai indikasi: pada tes ini, dokter akan memasukkan selang tipis dengan kamera dan lampu di ujung, ke dalam uretra.

TERAPI

Perawatan dan manajemen terapi tergantung pada jenis inkontinensia urin. Ada modalitas konservatif, farmakologis, dan bedah. Perawatan dan manajemen harus dimulai dengan metode yang paling tidak invasif dan kemudian ditingkatkan sesuai kebutuhan.

Gambar 3. Tatalaksana Inkontinensia Urin8

  1. Terapi Konservatif7

    1. Non-farmakologis
      Perawatan konservatif awal termasuk modifikasi perilaku dan perubahan gaya hidup seperti mengurangi masukan cairan sebesar 25% selama pasien minum lebih dari 1 L / hari, berhenti merokok, mengurangi berat badan, dan menghindari minuman berkafein dan bersoda yang dapat mengiritasi kandung kemih. Pasien juga dilatih kandung kemih (bladder training) dan otot dasar panggul melalui senam Kegel. Perawatan ini perlu untuk diusahakan selama minimal 6 minggu untuk mendapatkan manfaat, dan mereka idealnya harus dicoba selama 3 bulan. Selain itu, terdapat juga pilihan terapi melalui stimulasi elektromagnetik. Penggunaan alat medis sebagai penampungan juga termasuk dalam opsi terapi konservatif. Penampung merupakan hal penting untuk orang dengan inkontinensia urin yang mana pengobatan aktif tidak dapat menyembuhkan, atau pengobatan tersebut tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan. Beberapa individu mungkin lebih menyukai penahanan daripada menjalani pengobatan aktif dengan risiko yang ada. Hal ini termasuk penggunaan popok, kateter urine, alat penampung eksternal, dan klem penis.
    2. Farmakologis
      Pilihan obat yang dapat diberikan pada pasien inkontinensia urin yaitu golongan antimuskarinik. Terdapat tujuh antimuskarinik yang beredar di pasaran Inggris Raya yaitu oxybutynin, tolterodine, fesoterodine, solifenacin, darifenacin, propiverine, dan trospium chloride. Apabila pasien tidak dapat mentoleransi antimuskarinik, dapat diberikan mirabegron yang merupakan beta agonist. Pilihan obat lainnya yaitu duloxetine dan pemberian estrogen pada pasien wanita dengan indikasi.

  2. Terapi Bedah/Operatif7

    Pembedahan juga mejadi salah satu pilihan terapi, terutama ketika tatalaksana konservatif tidak membuahkan hasil yang baik. Terapi pembedahan terbagi menjadi dua, yaitu:

    1. Minimal invasif: injeksi intravesika, sfingterektomi, dilatasi dengan balon, injeksi bulking agents (polytetrafluoroethylene, polymethylsiloxane, dectranomer hyaluronic acid copolymer), bladder neck incision, dan stent uretra.
    2. Operasi terbuka: urethral sling, augmentasi sistoplasti/diversi urine.

Sebagai kesimpulan, perlu dilakukan evaluasi agar diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat dapat diberikan. Dokter akan menentukan terapi yang terbaik berdasarkan kebutuhan masing-masing pasien.

REFERENSI

  1. Harding C, Lapitan M, Arlandis S, Bo K, Costantini E, Groen J, et al. EAU Guidelines on Management of Non-neurogenic Female Lower Urinary Tract Symptoms. EAU Guidelines. European Association of Urology; 2022.
  2. Chapple C, Milsom I. Urinary incontinence and pelvic prolapse: epidemiology and pathophysiology . In: Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA, editors. Campbell-Walsh Urology 10th Edition. 10th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. p. 1872–95.
  3. Shamliyan T, Wyman J, Bliss D, Kane R, Wilt T. Prevention of urinary and fecal incontinence in adults. Rockville; 2007. p. 1–379.
  4. Rahardjo H. Penelitian Inkontinensia Urin PERKINA 2020. 2020.
  5. Abrams P, Cardozo L, Fall M, Griffiths D, Rosier P, Ulmsten U, et al. The standardisation of terminology of lower urinary tract function: report from the Standardisation Sub-committee of the International Continence Society. Neurourol Urodyn [Internet]. 2002 [cited 2022 Apr 12];21(2):167–78. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11857671/
  6. Elstad EA, Taubenberger SP, Botelho EM, Tennstedt SL. Beyond incontinence: The stigma of other urinary symptoms. J Adv Nurs [Internet]. 2010 Nov [cited 2022 Apr 12];66(11):2460. Available from: /pmc/articles/PMC3032268/
  7. Perkumpulan Kontinensia Indonesia (PERKINA). Panduan Tata Laksana Inkontinensia Urine pada Dewasa. 2nd ed. Rahardjo HE, editor. Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia; 2018. 1–109 p.
  8. WFIPP. Survey: Despite high prevalence, urinary incontinence is still very much a taboo [Internet]. Arnhem: WFIPP; 2021 [cited 2022 Apr 12]. Available from: https://wfipp.org/survey-despite-high-prevalence-urinary-incontinence-is-still-very-much-a-taboo/
  9. Irwin DE, Milsom I, Hunskaar S, Reilly K, Kopp Z, Herschorn S, et al. Population-based survey of urinary incontinence, overactive bladder, and other lower urinary tract symptoms in five countries: results of the EPIC study. Eur Urol [Internet]. 2006 Dec [cited 2022 Apr 14];50(6):1306–15. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17049716/
  10. Fayyad AM, Hill SR, Jones G. Urine production and bladder diary measurements in women with type 2 diabetes mellitus and their relation to lower urinary tract symptoms and voiding dysfunction. Neurourol Urodyn [Internet]. 2010 Mar [cited 2022 Apr 14];29(3):354–8. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19760759/
  11. Women’s Health Specialists. Urinary Incontinence [Internet]. WHS. [cited 2022 Apr 12]. Available from: https://whsfl.com/urinary-incontinence/
  12. Resnick NM. Incontinence. Goldman’s Cecil Med Twenty Fourth Ed. 2012;1:110–4.
  13. NIDDK. Symptoms & Causes of Bladder Control Problems (Urinary Incontinence) [Internet]. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. 2021 [cited 2022 Apr 13]. Available from: https://www.niddk.nih.gov/health-information/urologic-diseases/bladder-control-problems/symptoms-causes
  14. Ching MC. Causes and Types of Urinary Incontinence. In: Ching MC, editor. Clinical Handbook on the Management Incontinence. 2nd ed. Singapore: Society for Continence; 2001. p. 13–6.
  15. Brandon RL. Physical Medicine & Rehabilitation fourth edition. 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2011.
  16. Thüroff JW, Abrams P, Andersson KE, Artibani W, Chapple CR, Drake MJ, et al. EAU guidelines on urinary incontinence. Eur Urol [Internet]. 2011 Mar [cited 2022 Apr 13];59(3):387–400. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21130559/
  17. Shamliyan TA, Wyman JF, Ping R, Wilt TJ, Kane RL. Male Urinary Incontinence: Prevalence, Risk Factors, and Preventive Interventions. Rev Urol [Internet]. 2009 [cited 2022 Apr 13];11(3):145. Available from: /pmc/articles/PMC2777062/
  18. Brown JS, McNaughton KS, Wyman JF, Burgio KL, Harkaway R, Bergner D, et al. Measurement characteristics of a voiding diary for use by men and women with overactive bladder. Urology [Internet]. 2003 Apr 1 [cited 2022 Apr 13];61(4):802–9. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/12670569/
  19. Hess R, Huang AJ, Richter HE, Ghetti CC, Sung VW, Barrett-Connor E, et al. Long-term efficacy and safety of questionnaire-based initiation of urgency urinary incontinence treatment. Am J Obstet Gynecol [Internet]. 2013 [cited 2022 Apr 13];209(3):244.e1-244.e9. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23659987/
  20. Wu CJ, Ting WH, Lin HH, Hsiao SM. Clinical and Urodynamic Predictors of the Q-Tip Test in Women With Lower Urinary Tract Symptoms. Int Neurourol J [Internet]. 2020 [cited 2022 Apr 13];24(1):52–8. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32252186/
  21. Tseng LH, Liang CC, Chang YL, Lee SJ, Lloyd LK, Chen CK. Postvoid residual urine in women with stress incontinence. Neurourol Urodyn [Internet]. 2008 [cited 2022 Apr 13];27(1):48–51. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17563112/
  22. Afraa T Al, Mahfouz W, Campeau L, Corcos J. Normal lower urinary tract assessment in women: I. Uroflowmetry and post-void residual, pad tests, and bladder diaries. Int Urogynecol J [Internet]. 2012 [cited 2022 Apr 13];23(6):681–5. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21935667/

Editor : InaSFFU
Tanggal: 21 April 2022